tes

on Kamis, 20 Agustus 2009

apa yang di tes?

nanti

Pemilih Indonesia (belum) Terdidik

on Kamis, 09 April 2009


9 April 2009 menjadi hari pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD. Dengan tata cara yang berbeda dengan pemilihan 5 tahun sebelumnya, diharapkan akan terpilih orang yang lebih baik.. Tapi apakah setelah merubah tata cara pemilihan akan menjamin harapan tersebut.?
Inilah yang terjadi ketika pagi ini gw mencontreng. Banyak orang yang masih belum mengetahui apa yang akan mereka pilih, termasuk gw juga. Di depan TPS disediakan papan yang tertempel caleg, menurut panita pemasangan ini diharapkan membantu pemilih agar dapat dengan cepat ketika mencontreng. Tetapi ini juga menunjukkan pemilih belum mengetahui apa yang akan mereka pilih. Hingga seorang bapak bertanya apakah ada orang dari daerah pencontrengan ini yang mencalonkan diri. seketika seorang ibu menunjuk sebuah nomor yang ada poto caleg. "Harus pilih yang ini, dia dari sini" katanya.
Sementara dari TPS teman gw kejadiannya berbeda. Di sana masih ada pemilih yang belum menetapkan pilihan hingga masuk ke bilik suara. Hingga seorang ibu setelah keluar dari bilik suara ditanya temannya apa yang dipilih. Dengan tenangnya dia berkata "Pilih yang ganteng aja!".
Mungkin memang dari dua kejadian ini mereka hanya bercanda, tapi bagaimana bila mereka benar-benar melakukannya. apakah pemilu berhasil dengan para pemilih yang seperti ini? Apakah pemilih yang benar itu harus mendukung orang yang dekat dengan mereka tanpa melihat orang lain yang mungkin kualitasnya lebih? apakah penampilan menggambarkan kualitas seseorang? Sekarang bagaimana menurut kalian, apakah pantas kita protes pada pemerintah jika ketika memilih mereka kita asal-asalan....
setelah ini masih ada pemilihan presiden, semoga pemilih dapat lebih baik dalam memilih,,...

hUjan

on Rabu, 18 Maret 2009


Perjalanan panjang telah membawaku ke desa ini. Terlihat kecil dan sederhana. Tempat yang tenang, setidaknya itu yang kulihat. Sepertinya kedatanganku telah menghentikan aktivitas seluruh orang disini. Tidak ada siapapun yang kulihat, hanya beberapa orang yang sedang berjalan cepat sambil melihat kearahku dengan wajah memohon..

Tidak ku sangka aku sudah sebesar ini. Hampir seluruh desa aku tutupi, tidak ada sedikit pun sinar matahari yang menembusku. Desa ini telah gelap gulita, seolah malam telah datang terlalu cepat. Dan waktunya telah tiba untukku.

Petir menggelegar sangat keras. Setetes air telah jatuh, diikuti dengan tetesan berikutnya. Kali ini hujan sangat deras, petir pun tidak berhenti. Sore menjadi begitu suram.

Tiga pria berlari dengan tergesah-gasah sambil memegang kepala mereka, mereka sama-sama menuju masjid kecil yang letaknya di tengah-tengah desa ini. Mereka akan nyaman disana. Hanya sedikit rasa dingin yang akan mereka rasakan, setidaknya mereka tidak kehujanan jika berada disana.

Sudah tiga puluh menit dan aku masih belum habis juga. Intensitas curahanku pun masih sama. Aku masih akan bertahan lama..

Sebuah tangan dari mesjid kecil itu keluar menadah ke arah ku. Disusul dua tangan yang kelihatannya bukan dari orang yang sama. Semuanya tangan kanan sepenglihatanku. Seorang pria berkulit putih keluar dari masjid,

“Hei...! bisakah kau berhenti sekarang.. Aku masih ada urusan, dan kau telah membuatku terlambat..”. Pria itu melihat kearahku dengan wajah marah sekaligus kecewa.

Dia masih ditempatnya, tidak bergeser sedikitpun. Seluruh tubuhnya telah basah.

“Masuklah teman. Tubuhmu telah basah. Apa yang kamu harapkan dengan berteriak ke atas? Hujan akan berhenti!” suara dari dalam mesjid, ”Percuma.. Masuklah..”.

“Akhir-akhir ini hujan sudah mulai keterlaluan. Terjadi setiap hari dan terlalu deras. Terakhir jalan di depan rumahku tergenang, entah sekarang bagaimana.” suara yang lain.

“Ya, sekarang janjiku dengan seseorang harus tertunda”. Dia belum masuk, melihat ke arah ku, “Apa yang Tuhan inginkan dari hujan? Menggagalkan semua rencanaku.!”

“Untunglah urusanku telah selesai hari ini. Aku hanya rindu pada anak dan istriku. Semoga hujan kali ini tidak membuat bocor dirumahku semakin parah”, kata pria yang menyuruh masuk pria berkulit putih. Tangannya menjulur keluar memastikan hujan masih deras.

“Hujan kali ini lebih deras.. Sebaiknya aku membantu orang di rumah menumpuk pasir agar air dari jalanan tidak masuk..”. Dia ikut keluar dan melihatku. Kulitnya hitam, rambutnya dipotong cepak.

Seorang lagi keluar. Mereka semua melihatku. Tidak lagi peduli tubuh mereka basah.

“Menurutku Tuhan sedang menertawai kita. Tawanya terlalu lebar. Sekarang air liurnya membasahi kita. Dia menertawai kita yang lari terbirit-birit hanya karena tetesan air.” Kata pria berkulit putih, “Dia pikir ini lelucon. Aku terganggu dengan tawanya, sekarang.”.

“Kau yakin? Melihat orang berlari terbirit-birit bukanlah hal yang lucu.” kata pria yang terakhir keluar,”Aku rasa Dia sedih melihat kita. Terkadang aku ke masjid ini, hanya sedikit orang yang berjamaah di sini. Kita sudah meninggalkan Tuhan. Sekarang Ia menangis, tangisnya membasahi kita.. Aku harus sering bercermin, betapa menedihkannya diriku karena meninggalkan-Nya.”.

“Aku setuju dengan mu. Kita sudah terlalu jauh meninggalkann-Nya.” Kata pria berambut cepak,”Tapi, untuk apa Tuhan bersedih? Dia jijik dengan kita. Dia memberi segalanya, tapi kita melupakan-Nya. Rasa jijik membuat-Nya tidak tahan untuk meludah. Ludah-Nya lah yang membasahi kita.”.

“Apapun yang Tuhan pikirkan sekarang aku harap Dia berhenti. Aku sudah kedinginan..”. Pria berkulit putih itupun masuk dan yang lain mengikutinya.

Hujan masih deras, terkadang petir menggelegar keras. Aku mendengar semua pembicaraan mereka tadi. Mereka mengeluh tentang hujan, maka akulah objek pembicaraan mereka, tapi kenapa mereka membawa nama Tuhan? Aku hanya sebuah awan. Tidak bernyawa. Tidak berkuasa. Aku tidak bisa tertawa, sedih, ataupun marah. Aku tidak memiliki air mata dan juga air liur. Aku hanya membawa kumpulan uap air dari berbagai tempat. Keberadaanku disini hanya hasil dorongan angin. Ketika telah mencapai kejenuhan, aku hanya diam. Tubuhku meleleh. Kalian terlalu berlebihan melihatku. Aku bukan Tuhan..

Jakarta, 13 maret 2009

Jalan Hidup

on Minggu, 15 Februari 2009


1948. awal dari hilangnya Palestina. Awal dari bentuk kekalahan dunia arab dari ras yang terbuang. Pada tahun-tahun sebelumnya, migrasi besar-besaran keturunan yahudi dari berbagai negara berlangsung singkat. Inggris menjadi negara yang melindungi kaum yahudi untuk masuk ke Palestina. Ada yang mengatakan bahwa Inggris memiliki hutang tarhadap kaum yahudi saat PD1, dan yahudi meminta Inggris membantu mereka kembali ke tempat asal mereka, yaitu wilayah Palestina.

Setelah jumlah penduduk yahudi sangat besar di Palestina mereka memulai griliya. Dengan perlahan tapi pasti satu persatu daerah palestina berhasil dikuasai. Tidak banyak tindakan yang dapat diperbuat, dunia arab hanya melihat ikatan persaudaraan kaum muslim terkalahkan oleh batas teritorial sebuah negara.

Penguasaan kaum yahudi atas tanah palestina memaksa penduduk asli untuk mengungsi, dan jelas ini menjadi masalah besar karena jumlah pengangguran akan meningkat. Kondisi ini memaksa banyak orang palestina untuk bermigrasi ke negara lain. Sebagian mereka memilih negara arab lain untuk ditempati, tetapi ketika pilihan tersebut semakin sedikit maka banyak yang memilih negara eropa untuk menjadi tempat hidup mereka yang baru. Dengan begini situasi telah berubah, dulu kaum yahudi terbuang ke berbagai negara tetapi sekarang orang-orang arab palestina yang menjadi terbuang.

In Search of Fatima, buku biografi yang ditulis oleh Ghada Kharmi. Menceritakan perjalanan sebuah keluarga yang terbuang dari palestina ke negara yang membuat mereka terusir, yaitu Inggris. Lingkungan baru di Inggris membuat mereka melupaka Palestina, terutama untuk Siham, Ziyad, dan Ghada. Tiga bersaudara yang menjadikan Inggris sebagai diri mereka dan melupakan arab sebagai asal mereka. Walaupun ini hanya sisi luar karena kedua orang tua mereka tetap memegang kebudayaan arab. Sehingga ini membuat mereka memiliki dua kebudayaan yang bertolak belakang, arab dengan eropa.

Kenaifan Ghada menganggap keeropaannya adalah sejati justru menjadi bumerang. Secara perlahan Ghada menyadari bahwa sebenarnya ia tetap berbeda, ia bukan eropa. Tetapi juga kearaban begitu terkikis oleh dunia eropa. Kenyataan bahwa mereka bukan keduanya sekarang menjadi hal yang rumit ditambah lagi mereka tidak diakui oleh keduanya. Jati diri yang tidak ditemukan memaksanya kembali ke awal hidupnya. Ketempat yang berusaha ia lupakan, yaitu tempat kelahirannya. Tempat yang kini telah menjadi israel dengan bendera bintang Davisnya.

Buku ini wajib dibaca bukan cuma untuk mereka yang tertarik mengetahui apa yang terjadi pada orang pelestina setelah terbentuk negara Israel, tetapi juga untuk menyadarkan kita pentingnya kejujuran pada diri sendiri dan penerimaan terhadap kondisi yang sulit tetapi tidak berarti kepasrahan yang menyerah. Setiap dari kita akan mengalami masalah walaupun dengan konteks yang berbeda dari Ghada, tetapi masalah-masalah itu akan terselesaikan dengan penerimaan dan perjuangan. Tinggal caranya yang berbeda. Ghada membuktikan pencariannya terhadap jati diri membawanya pada kesiapan mental dan kepribadian yang kuat, mungkin memang itulah tujuan dari masalah kita.. Selamat membaca!!!