emo!!!

on Rabu, 25 Agustus 2010

Pernahkah setetes air yang menetes dari langit lupa pada langit?
atau pernahkah butiran-butiran garam itu lupa pada lautan?
Lupakah kita pada-Nya?
***
Taukah kamu rasanya ketika segumpal benda, ya, mungkin benda, atau bukan benda yang merogoh-rogoh dada ingin keluar karena sudah tidak tahan.
Tidak tahan?
Tidak lagi tahan berada dalam tubuh yang munafik penuh pendustaan.
***
Siapa?
Aku? tidak, aku tidak mendusta.
Aku tidak membohongi benda atau bukan benda itu?
Benda atau bukan benda itu bukan tidak tahan pada kebohongan, tetapi pada kejujuran.
Kamu tau bukan? kejujuran itu pahit, layaknya obat tablet yang lebih baik langsung ditelan ketimbang diemut lama-lama.
***
Kamu. Kamu tidak akan tahu rasanya bagaimana sebuah gumpalan yang ingin merobek dada kemudian keluar.
Kecuali, kamu rasakan sendiri.
Seandainya ada sebilah pisau, kan ku robek dada ini dan membiarkan benda yang bukan benda itu keluar.
Biarkan ia mencari tubuh baru yang bisa menyamankannya.
Kemudian aku?
Terakhir kalinya, aku bukan munafik nan pendusta.
Aku jujur.
Jujur mengatakan hidupku yang semakin tak jelas dan berarti.
Dan jujur, benda yang bukan benda itu terlalu naif.
***

Cabut Terus

on Kamis, 05 Agustus 2010

Sudah tiga kali civitas kampus, khususnya mahasiswa melakukan perubahan di Indonesia. Pertama berhasil memerdekakan Indonesia, kedua meruntuhkan rezim Soekarno, ketiga mengakhiri masa Suharto yang mengekang kebebasan. Setelah itu kebebasan menjadi hak setiap orang. Pemerintahan demokratis terbentuk. Maka bisa dibilang pemerintahan ideal dengan demokrasi berasal dari kampus. Lalu bagaimana kondisi demokrasi saat ini di kampus?
Beberapa hari yang lalu teman ku yang aktif di kampus menjalankan tugas menampung aspirasi mahasiswa dengan menempel kertas karton berukuran lebih kurang 1 meter persegi di salah satu pakom. Tujuannya jelas, menampung saran, kritik, masukan terhadap oraganisasi terbesar di UNPAD. KEMA. Penampungan aspirasi di tingkat fakultas ini selalu menjadi keluhan mahasiswa ketika sidang. Organisasi yang ia geluti, BPM, selalu dikritik tidak menampung aspirasi dari fakultas. Sekarang ia menjalankan fungsi utama organisasinya. Sebuah bukti organisasinya bukan mainan.
Kebetulan saya ikut membantu karena saya yang juga memiliki tugas yang sama dalam ruang lingkup yang lebih kecil dari teman saya. Di hari pertama penempelan telah tertulis 4 aspirasi. Di hari kedua dan ketiga saya lupa untuk mengecek. Dan di hari keempat karton kuning itu telah tiada. Saat ditanya apakah karton itu telah diambil teman saya, jawabannya tidak. Informasi yang ia dapat karton itu telah dicabut orang lain, entah siapa.
Sunggung memalukan cara mahasiswa seperti itu ketika tidak menyetujui (kontra) terhadap organisasi teman saya. Laporan seperti ini pernah saya dapat dari senior yang dulu melakukan penampungan aspirasi. Belum lama menempel sudah dicabut. Mungkin seperti ini peninggalan Orba yang memunculkan orang-orang yang takut berpendapat sehingga mereka sembunyi-sembunyi. Sudah bukan zamannya orang menunjukkan sikap kontranya dengan sembunyi-sembunyi.
Lawan tulisan dengan tulisan. Lawan perkataan dengan perkataan. Dengan begitu domokrasi yang mengarah pada kebebasan dapat terwujud. Bertanggung jawab!!

Idealisme atau Munafik

on Selasa, 03 Agustus 2010

Hehehe
Dah, kebelet banget mau posting tentang dosen yang. Hahaha... Bilangnya idealis tapi nothing.
Setelah kita (gw ma temen-temen yang dah ngebentuk kelompok untuk PKM taun ini) berjuang (sedikit) keras mencari materi untuk mewujudkan ide penelitian dengan googling dan diskusi ma dosen, ujung-ujungnya mental langsung sama seorang dosen yang ngotot penelitian ini percuma dan ga perlu. Wow....
Pertama ketemu dia, gw jelasin latar belakang yang sebenarnya atau menurut gw cukup kuat. Dibantah satu gw masih ada latar belakang lain (setelah diskusi beberapa hari sebelumnya), penelitiannya masih sama tapi sudut pandangnya dirubah. Si dosennya terima. Wuihhh.... dengan syarat kami harus cari litelatur yang menunjukkan penelitian ini mungkin.
Tiga hari. Siph...
Ujungnya ketemu dia setelah lima hari. Dan kami siap. Bukti penelitian yang dapat menunjukkan penelitian kami memungkinkan sudah ada. Kemudian apa kata dia? Yakin, itu pengambilan datanya benar.
Mana gw tau, kan bukan yang ngelakuin.
Penelitian itu menunjukkan hasil yang sangat signifikan, sehingga jika dilakukan akan memberikan peran terhadap manusia yang bisa jadi juga signifikan. Penelitian yang gw dapet dari googling itu memang berbeda dengan ide penelitian kami dari objek dan metode yang nanti dilakukan tetapi penelitian itu menunjukkan kemungkinan hipotesis kami.
Pada akhirnya, yah, batal. Capek debatnya kalo yang diajak debat ga mau membuka mata. Udah dikasih bukti, tetep aja ngotot.
Pada dasarnya penelitian itu bertujuan menemukan sesuatu, atau membuktikan sesuatu, tidak selalu harus melakukan sesuatu yang sudah pasti bisa dilakukan. Untuk apa?
Dan akhirnya ia memberikan ide penelitian dengan sangat percaya diri setelah membantai ide kami. Tau kah kamu, setelah melihat litelatur (dari dosennya) ternyata penelitian ini sudah pernah ada. Hanya sedikit perubahan dan pengoptimalan, sisanya sama aja!!!
Ohhh..... membayangkan wajahnya yang dengan bangga mengagungkan idealisme itu membuat perutku geli dan bergejolak ingin muntah...

Hidupnya


Namanya mang Karnang. Kata mas Agus itu nama bapak tua yang suka bebersih di pondok gw.
Bapak yang tinggal dengan istri dan anak ketiganya. Anak pertama yang telah berkeluarga adalah lulusan SD. Anak kedua sampai menamatkan SMP dan sekarang pun telah berkeluarga. Dan anak ketiganya sekarang sedang bersekolah di SMP negeri di Jatinangor. Kelas dua.
Mang Karnang adalah petani, lebih tepatnya buruh tani yang masih bertahan di arus urbanisasi Jatinangor yang begitu besar. Ketika sebagian besar sawah-sawah telah berubah menjadi indekos, ia menggantungkan mata pencariannya dari petak-petak sawah yang masih tersisa. Entah sampai kapan.
Beberapa kali gw ngobrol dengan mang karnang. Menghabiskan rokok. Tidak semua pembicaraannya bisa gw mengerti, tetapi bukan alasan untuk tidak gw pahami. Ia sering berada di pondok ini untuk membersihkan sampah. Membakarnya. Berjaga malam karena terkadang ada saja orang iseng yang melirik kamar-kamar berisi mahasiswa yang sedang tidak mawas. Apakah ia mendapat bayaran atas semua ini? tidak.
Benar, gw ga bohong. Lelaki tua ini tidak mendapat bayaran dari yang ia lakukan di sini. Lalu untuk apa ia mau datang malam-malam menjaga benda-benda kami dari orang iseng. Ia hanya bosan dengan kemiskinan yang ia rasakan selama hidupnya. Terkadang malam menjadi temannya. Teman terbaik yang mengeri dirinya. Teman yang hanya diam melihat keluh kesah yang tampak dari wajahnya.
Kerutan diwajahnya terus melipat. Usia telah memakan tenaganya. Tidak banyak yang dapat ia lakukan untuk merubah nasibnya sekarang. Menanti para pemilik ladang sawah yang terlalu sibuk untuk mencangkul sendiri. Panggilan akan tiba, dan ketika saat itu tiba, sedikit uang untuk keluarganya akan didapat.
Dalam obrolan kami, tawa hampir tidak lepas dari mulutnya. Beban kehidupannya tidak hilang dengan tawa. Mungkin setidaknya sedikit tawa bisa membuat ia lepas dari beban ini.

Musim gugur tiba
Hanya sehelai daun yang tersisa
Menempel di ujung ranting
Pohon itu seusia dengan ku
Tidak lama lagi ia akan kehilangan segalanya
Kehilangan daun-daun yang selama ini menemani
Pun diriku
Selamat tinggal sayang.
***