hUjan

on Rabu, 18 Maret 2009


Perjalanan panjang telah membawaku ke desa ini. Terlihat kecil dan sederhana. Tempat yang tenang, setidaknya itu yang kulihat. Sepertinya kedatanganku telah menghentikan aktivitas seluruh orang disini. Tidak ada siapapun yang kulihat, hanya beberapa orang yang sedang berjalan cepat sambil melihat kearahku dengan wajah memohon..

Tidak ku sangka aku sudah sebesar ini. Hampir seluruh desa aku tutupi, tidak ada sedikit pun sinar matahari yang menembusku. Desa ini telah gelap gulita, seolah malam telah datang terlalu cepat. Dan waktunya telah tiba untukku.

Petir menggelegar sangat keras. Setetes air telah jatuh, diikuti dengan tetesan berikutnya. Kali ini hujan sangat deras, petir pun tidak berhenti. Sore menjadi begitu suram.

Tiga pria berlari dengan tergesah-gasah sambil memegang kepala mereka, mereka sama-sama menuju masjid kecil yang letaknya di tengah-tengah desa ini. Mereka akan nyaman disana. Hanya sedikit rasa dingin yang akan mereka rasakan, setidaknya mereka tidak kehujanan jika berada disana.

Sudah tiga puluh menit dan aku masih belum habis juga. Intensitas curahanku pun masih sama. Aku masih akan bertahan lama..

Sebuah tangan dari mesjid kecil itu keluar menadah ke arah ku. Disusul dua tangan yang kelihatannya bukan dari orang yang sama. Semuanya tangan kanan sepenglihatanku. Seorang pria berkulit putih keluar dari masjid,

“Hei...! bisakah kau berhenti sekarang.. Aku masih ada urusan, dan kau telah membuatku terlambat..”. Pria itu melihat kearahku dengan wajah marah sekaligus kecewa.

Dia masih ditempatnya, tidak bergeser sedikitpun. Seluruh tubuhnya telah basah.

“Masuklah teman. Tubuhmu telah basah. Apa yang kamu harapkan dengan berteriak ke atas? Hujan akan berhenti!” suara dari dalam mesjid, ”Percuma.. Masuklah..”.

“Akhir-akhir ini hujan sudah mulai keterlaluan. Terjadi setiap hari dan terlalu deras. Terakhir jalan di depan rumahku tergenang, entah sekarang bagaimana.” suara yang lain.

“Ya, sekarang janjiku dengan seseorang harus tertunda”. Dia belum masuk, melihat ke arah ku, “Apa yang Tuhan inginkan dari hujan? Menggagalkan semua rencanaku.!”

“Untunglah urusanku telah selesai hari ini. Aku hanya rindu pada anak dan istriku. Semoga hujan kali ini tidak membuat bocor dirumahku semakin parah”, kata pria yang menyuruh masuk pria berkulit putih. Tangannya menjulur keluar memastikan hujan masih deras.

“Hujan kali ini lebih deras.. Sebaiknya aku membantu orang di rumah menumpuk pasir agar air dari jalanan tidak masuk..”. Dia ikut keluar dan melihatku. Kulitnya hitam, rambutnya dipotong cepak.

Seorang lagi keluar. Mereka semua melihatku. Tidak lagi peduli tubuh mereka basah.

“Menurutku Tuhan sedang menertawai kita. Tawanya terlalu lebar. Sekarang air liurnya membasahi kita. Dia menertawai kita yang lari terbirit-birit hanya karena tetesan air.” Kata pria berkulit putih, “Dia pikir ini lelucon. Aku terganggu dengan tawanya, sekarang.”.

“Kau yakin? Melihat orang berlari terbirit-birit bukanlah hal yang lucu.” kata pria yang terakhir keluar,”Aku rasa Dia sedih melihat kita. Terkadang aku ke masjid ini, hanya sedikit orang yang berjamaah di sini. Kita sudah meninggalkan Tuhan. Sekarang Ia menangis, tangisnya membasahi kita.. Aku harus sering bercermin, betapa menedihkannya diriku karena meninggalkan-Nya.”.

“Aku setuju dengan mu. Kita sudah terlalu jauh meninggalkann-Nya.” Kata pria berambut cepak,”Tapi, untuk apa Tuhan bersedih? Dia jijik dengan kita. Dia memberi segalanya, tapi kita melupakan-Nya. Rasa jijik membuat-Nya tidak tahan untuk meludah. Ludah-Nya lah yang membasahi kita.”.

“Apapun yang Tuhan pikirkan sekarang aku harap Dia berhenti. Aku sudah kedinginan..”. Pria berkulit putih itupun masuk dan yang lain mengikutinya.

Hujan masih deras, terkadang petir menggelegar keras. Aku mendengar semua pembicaraan mereka tadi. Mereka mengeluh tentang hujan, maka akulah objek pembicaraan mereka, tapi kenapa mereka membawa nama Tuhan? Aku hanya sebuah awan. Tidak bernyawa. Tidak berkuasa. Aku tidak bisa tertawa, sedih, ataupun marah. Aku tidak memiliki air mata dan juga air liur. Aku hanya membawa kumpulan uap air dari berbagai tempat. Keberadaanku disini hanya hasil dorongan angin. Ketika telah mencapai kejenuhan, aku hanya diam. Tubuhku meleleh. Kalian terlalu berlebihan melihatku. Aku bukan Tuhan..

Jakarta, 13 maret 2009